Dunia MMORPG live service kini menghadapi tantangan besar. Fenomena gagalnya game MMORPG baru menjadi sorotan, memunculkan pertanyaan tentang masa depan genre yang dulunya begitu populer ini. Balutan dunia terbuka yang luas, mob dan bos yang terus bermunculan, serta dinamika mengumpulkan party dan bergabung dengan guild pernah menjadi daya tarik utama bagi para gamer. Namun, kini rasa magis itu perlahan memudar, dengan banyak judul baru yang tidak mampu bertahan lama, seringkali hanya dalam satu atau dua tahun setelah rilis. Pertanyaan mengapa game MMORPG baru gagal dan tidak bisa bertahan terus mengemuka. Artikel ini akan mengulas secara mendalam berbagai penyebab MMORPG gagal di era modern.

Memori Emas MMORPG: Mengapa Dulu Begitu Dicintai?
Sebelum membahas penyebab MMORPG gagal di masa kini, penting untuk mengenang masa kejayaan genre ini. Dahulu, game MMORPG seperti Ragnarok Online, Yulgang, Atlantica, dan RF Online menjadi primadona di warnet. Bagi banyak gamer, MMORPG bukan hanya sekadar permainan, melainkan sebuah gaya hidup dan tempat untuk membangun komunitas yang kuat, jauh sebelum era media sosial.
Dalam dunia virtual ini, anggota party terasa seperti sahabat dan anggota guild serasa keluarga. MMORPG menjadi ruang bagi gamer untuk tumbuh dan berkembang bersama. Namun, seiring berjalannya waktu, magis yang kuat itu mulai memudar, ditandai dengan banyak judul besar yang menutup servernya dan minimnya kehadiran judul baru yang mampu menggantikan.
Investasi Mahal dan Ekspektasi yang Underdeliver
Ada masalah fundamental terkait alasan mengapa game MMORPG baru gagal dalam bertahan. Pengembangan sebuah game MMORPG adalah investasi yang sangat mahal dan penuh risiko, seringkali membutuhkan waktu 5 hingga 10 tahun dari nol. Biaya pengembangannya pun tidak sedikit, mendorong publisher untuk menerapkan sistem monetisasi cepat guna mengembalikan modal.
Contoh kasus yang menonjol adalah New World, game MMORPG ambisius dari Amazon Games, yang diperkirakan akan menghadapi akhir pada tahun 2026. Sering kali, janji-janji yang dilontarkan saat ada judul baru beredar selalu sama: game ini akan “berbeda dari yang sebelumnya” dengan “gameplay yang menjanjikan”. Namun, saat dicicipi, inovasi yang dijanjikan tidak mampu membuat player betah.

Kebanyakan pengembang terlalu ambisius, mencoba menciptakan “the Dark Souls of MMORPG” dengan combat yang sulit atau raid kompleks tanpa arah yang jelas. Mereka cenderung memasukkan terlalu banyak fitur atau menjanjikan terlalu muluk, yang akhirnya berujung pada underdeliver. Ini merupakan salah satu penyebab MMORPG gagal yang krusial.

Contoh nyata adalah game Elyon, yang menjanjikan combat udara dan tema steampunk. Namun, realitasnya, game ini banyak dikritik karena optimalisasi seadanya, cerita dan konten in-game yang tidak menarik, serta grafis yang buruk. Batasan untuk masuk ke judul-judul MMORPG kian tinggi; mereka tidak bisa lagi menjanjikan hal unik sambil berharap player mau menunggu game dipoles. Jika sebuah MMORPG live service tidak cukup unik sejak awal, potensinya untuk ditinggalkan sangat besar.

Judul yang dibuat untuk sekadar cash grab akan memiliki retensi player yang rendah. Hal ini berbeda dengan game yang dikembangkan dengan passion seperti Final Fantasy XIV atau bahkan shooter MMORPG Helldivers II. Ketika sebuah game hanya berisikan daily yang sama setiap hari, ia lebih mirip pekerjaan kedua. Sayangnya, formula ini sudah mendarah daging di banyak game MMORPG baru, terutama dari Korea Selatan, membuatnya terkesan sebagai carbon copy dengan bungkus berbeda.
Rumput Tetangga yang Tidak Selalu Lebih Hijau: Kekuatan Judul Lama
Anggapan bahwa player tidak memberikan kesempatan untuk sebuah game MMORPG baru gagal adalah salah. Banyak gamer yang bosan justru ingin mencoba judul terbaru yang dijanjikan. Mereka berharap menemukan sesuatu yang revolusioner atau yang tidak ada di game yang mereka mainkan saat ini. Namun, ekspektasi ini sering sirna setelah mencicipi gigitan pertama.
Judul baru itu seringkali bukan “rumput tetangga yang lebih hijau”, melainkan “rumput plastik murahan” yang dibeli dengan harga mahal. Para gamer yang masih setia dengan MMORPG lama dan mencoba judul baru sering berakhir kecewa, kemudian menyerah dan kembali ke game lama mereka. MMORPG jadul, seperti Ragnarok Online, kerap memberi ruang bernafas dengan gaya bermain yang lebih simpel, memungkinkan player untuk bersantai atau sekadar bercengkerama tanpa harus terus-menerus grinding atau raid.
Tantangan bagi Pemain Lama dan Komunitas Gatekeeping
Kebanyakan MMORPG live service baru tidak didesain untuk player lama yang ingin kembali setelah absen lama. Meskipun beberapa game memberikan item untuk mengejar ketertinggalan, seperti auto-level max atau set senjata, permasalahan utamanya adalah game telah menjadi terlalu kompleks untuk diikuti. Item baru menjadi sangat bloated, jumlahnya masif, dan seringkali tidak bisa digunakan karena limitasi level, class, atau batasan lainnya.

Akibatnya, player yang baru kembali merasa kewalahan dengan learning curve yang terlampau berat. Belum lagi, komunitas game itu sendiri seringkali melakukan gatekeep, sulit menerima player baru dengan gear seadanya. Guild yang kompetitif sudah pasti penuh dengan player aktif, sementara guild kasual tidak banyak membantu karena keterbatasan gear anggotanya. Kondisi ini membuat kembali ke game terasa pahit, dengan teman guild yang sudah tidak aktif dan desain game yang tidak ramah returnee, cukup menjadi alasan untuk berhenti lagi. Ini memperburuk kondisi penyebab MMORPG gagal dalam mempertahankan pemain.
Pergeseran Fungsi Sosial dan Regenerasi Pemain
Dulu, memainkan MMORPG identik dengan membangun komunitas. Rasa haus untuk menjalin hubungan sosial ini hanya bisa didapatkan dari game online, saat media sosial belum eksis. Kini, fungsi sosialisasi utama gamer telah diambil alih oleh media sosial, dengan obrolan yang semudah berbicara di Discord. Fenomena ini menimbulkan masalah baru: pergeseran minat pasar yang berujung pada kurangnya regenerasi player baru.

Agar sebuah genre bisa bertahan, ia membutuhkan regenerasi dari player-player muda. Jika game hanya diisi oleh gamer senior yang sudah nyaman dengan judul lama, maka game baru akan semakin sepi. Kota virtual yang awalnya ramai akan berubah menjadi lahan kosong. Ini adalah salah satu faktor penting mengapa game MMORPG baru gagal menarik audiens yang lebih muda.
Monetisasi Rakus dan Model Gacha yang Mendominasi
Akar masalah utama mengapa game MMORPG baru gagal seringkali tidak jauh dari monetisasi yang buruk. Dalam banyak diskusi, jawaban yang muncul adalah “game ini terlalu pay to win” atau “jarak antara F2P dan P2W terlalu jomplang.” Game yang gagal memberikan keseimbangan antara pemain gratisan dan pemain “whaler” biasanya berujung pada turunnya angka retensi pemain.
Mengapa pemain harus terus-menerus bermain jika hasilnya akan selalu terpaut jauh dari gamer dengan kedalaman kantong tak terbatas? Sindrom akut ini membebani game asal Korea Selatan, Lost Ark. Selain daily grind yang melelahkan, game ini kerap menjadi sasaran kritikan gamer akibat monetisasi yang rakus. Hal ini jelas merupakan salah satu penyebab MMORPG gagal.

Kisah Blue Protocol, MMORPG buatan Bandai Namco Online, yang harus tutup kurang dari dua tahun setelah rilis, menjadi bukti lain. Meskipun digadang menjadi game MMO masa kini dengan hype tinggi, penyebab MMORPG gagal ini cukup kompleks. Gamer di Jepang sendiri lebih memilih game gacha open world seperti Wuthering Waves dan Genshin Impact, daripada grinding berjam-jam di game yang repetitif.

Popularitas game lintas platform juga menjadi faktor, menawarkan gameplay loop yang lebih cepat dan bisa berhenti kapan saja. Berbeda dengan MMORPG yang progresnya tidak terhalang stamina, model grind tak terhingga justru membuat player baru kewalahan. Banyak MMORPG live service berkualitas terasa lahir di era yang salah, ketika model game mobile yang fleksibel sudah matang, dan genre open-world anime style kini didominasi oleh game gacha Tiongkok.
Gagalnya MMORPG bukan karena genre ini kehabisan ide, melainkan karena berbagai aspek yang membuatnya populer kini telah hilang atau ditinggalkan. Game yang dulunya berhasil menculik kita selama ratusan hingga ribuan jam dalam dunia virtual kini terasa seperti pekerjaan kedua dengan sistem monetisasi yang rakus pula. Apakah genre ini telah mati? Rasanya tidak, namun untuk bisa menemukan judul baru yang sukses akan seperti menunggu hujan turun di gurun. Bagaimana pandangan Anda mengenai game MMORPG baru gagal, brott?